Bendera Provinsi Pulau Sumbawa diunggah di media sosial. Dok istimewa
Mataram, SIAR POST — Sebuah gambar sederhana di media sosial kembali mengguncang wacana pemekaran wilayah di Nusa Tenggara Barat. Unggahan dari akun X bernama @Nondatuju pada Minggu lalu memperlihatkan sehelai bendera biru dengan tulisan “Provinsi Pulau Sumbawa”, dilengkapi dengan simbol kijang di tengahnya, dikelilingi padi dan kapas.
Sekilas, tampak seperti desain bendera daerah biasa. Namun, di balik warna birunya yang tenang, bendera ini menyimpan gelombang aspirasi besar yang sudah puluhan tahun mengalir di Pulau Sumbawa, keinginan untuk menjadi provinsi sendiri, lepas dari dominasi Pulau Lombok dalam tatanan pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
BACA JUGA : Catatan Kritis DPRD terhadap RPJMD Lombok Utara 2025–2029: Soroti Indikator Kosong dan Pembiayaan Budaya
Unggahan itu dengan cepat menyebar, mendapat ratusan komentar dan dibagikan ulang oleh berbagai akun. Reaksi publik terbelah.
Sebagian memuji inisiatif tersebut sebagai penyemangat baru dalam memperjuangkan aspirasi yang sudah lama mengendap. Sebagian lain menilai aksi ini sebagai langkah yang bisa memicu ketegangan sosial-politik antarwilayah di NTB.
“Ini bukan sekadar bendera. Ini lambang perlawanan terhadap ketimpangan pembangunan,” tulis seorang netizen yang mengaku berasal dari Kabupaten Bima.
Sejarah Panjang Aspirasi Pemekaran
Gagasan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa bukanlah hal baru. Sejak awal 2000-an, sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, dan politisi dari lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa—yaitu Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Bima, Dompu, dan Kota Bima—telah menyuarakan perlunya pemekaran untuk mendekatkan pelayanan, mempercepat pembangunan, dan memperkuat otonomi daerah.
Namun, prosesnya tak pernah mudah. Selain soal politik anggaran dan pemetaan kekuasaan, pemekaran wilayah juga kerap menghadapi tembok tinggi bernama “moratorium” dari pemerintah pusat.
BACA JUGA : Terungkap Kasus Ustadz Cabuli Puluhan Santriwati di Lombok Barat, Korban Bongkar Terinspirasi Dari Film
Pada 2011, ribuan warga dari lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa berkumpul di Lapangan Karato, Sumbawa Besar, untuk mendesak pemerintah pusat segera menyetujui pemekaran wilayah ini.
Saat itu, kongres akbar yang dihadiri oleh anggota DPR, DPD, serta kepala daerah se-Pulau Sumbawa menunjukkan kuatnya aspirasi masyarakat setempat untuk memiliki provinsi sendiri .
Simbol Kultural atau Pesan Politik?
Kijang dalam bendera yang diunggah @Nondatuju bukan tanpa makna. Kijang ini melambangkan kelincahan, ketangguhan, dan keterikatan masyarakat Sumbawa dengan alam.
Dikelilingi padi dan kapas, simbol klasik kemakmuran dan kesejahteraan, bendera ini tampak dirancang tidak sembarangan.
“Ini adalah representasi visual dari harapan dan identitas kolektif masyarakat Pulau Sumbawa. Kita ingin mandiri, bukan memberontak. Kita ingin didengar,” ujar seorang aktivis pemuda dari Dompu yang turut menyebarkan gambar tersebut.
Namun, tidak semua pihak menyambut positif. Sejumlah tokoh di Pulau Lombok menilai wacana pemekaran seharusnya dibicarakan secara rasional dan tidak melalui simbol-simbol yang bisa menimbulkan interpretasi liar.
BACA JUGA : Menguatkan Hak Pekerja Migran Indonesia di Pulau Pinang: Dari Kesadaran Diri hingga Akses Keadilan
“Kita harus hati-hati. Jangan sampai aspirasi ini ditunggangi kepentingan politik tertentu menjelang pemilu,” kata seorang anggota DPRD NTB yang meminta namanya dirahasiakan.
Dinamika Politik dan Potensi Konflik
Pengamat politik dari Universitas Mataram, Dr. H. Lalu Darwis, menilai bahwa unggahan seperti ini bisa menjadi semacam “pemicu kecil” bagi ledakan besar jika tidak ditangani dengan dialog dan pendekatan kultural yang bijaksana.
“Media sosial mempercepat proses eksternalisasi aspirasi. Dulu orang hanya bicara di warung kopi, sekarang satu gambar bisa mengguncang wacana provinsi baru. Pemerintah harus tanggap, bukan represif,” jelasnya.
Menurutnya, jika tidak dikelola dengan baik, isu ini bisa berkembang menjadi konflik terbuka—baik dalam bentuk polarisasi identitas maupun ketegangan antarwilayah di NTB.
Antara Harapan dan Realitas
Bendera itu kini viral. Tapi apakah viralitas bisa berubah menjadi legalitas?
Syarat pemekaran provinsi tidak sederhana. Harus ada persetujuan dari DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, gubernur, dan pemerintah pusat. Belum lagi aspek teknis seperti kesiapan anggaran, struktur birokrasi, dan peta wilayah administratif.
Namun bagi sebagian warga Sumbawa, bendera itu adalah harapan. Harapan bahwa mereka akan lebih merdeka menentukan masa depan mereka sendiri. Lebih dekat dengan pusat pemerintahan. Lebih diutamakan dalam pembangunan.
“Biar orang bilang ini mimpi. Tapi semua perubahan besar dimulai dari mimpi yang sederhana—seperti sehelai bendera yang dikibarkan di dunia maya,” ujar Nurdin, seorang guru di Sumbawa Besar.
Apakah mimpi itu akan terwujud? Atau justru tenggelam bersama unggahan viral lainnya yang hanya bersifat sementara?
Yang pasti, Sumbawa kini kembali bicara. Dan bendera biru itu, entah siapa pembuatnya, telah membuka kembali percakapan tentang keadilan, identitas, dan masa depan.
Pewarta : Edo
Redaktur : Feryal