banner 728x250

Dua Pegawai BPR NTB Dipecat, Diduga Tanpa Prosedur : BPR Klarifikasi, Publik Desak Audit Ulang

banner 120x600
banner 468x60

 

Dompu, SIAR POST – Polemik pemecatan dua pegawai PT BPR NTB Perseroda Cabang Soriutu, Dompu, berbuntut panjang. Dua staf yang diberhentikan secara tidak hormat itu, Edi Suryadi dan pimpinan cabang nya, menyatakan keberatan atas keputusan tersebut.

banner 325x300

Mereka menilai telah dijadikan kambing hitam dalam kasus yang sejatinya bersifat kolektif, melibatkan banyak pihak di lingkungan kerja.

Keputusan pemecatan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan PTDH Nomor 734 Tahun 2025, yang dikeluarkan manajemen BPR NTB. Namun, sejumlah pihak, termasuk aktivis transparansi dan Wakil Gubernur NTB, kini menyoroti dugaan ketidaksesuaian prosedur dalam proses pemberhentian itu.

BACA JUGA : Pemecatan Staf BPR NTB di Dompu Langgar Prosedur: Eks Ketua Tim Hukum Iqbal-Dinda Minta Direksi Dicopot 

Kasus ini bermula dari pelunasan kredit macet oleh seorang nasabah. Nasabah tersebut hanya mampu melunasi Rp20 juta dari total tunggakan Rp46 juta.

Setelah Kantor Pusat BPR menyetujui permohonan keringanan, terjadi kesepakatan internal yang disebut-sebut menghasilkan tambahan dana sebesar Rp5 juta yang dibagikan ke 12 pegawai cabang.

Namun, hanya dua orang yakni Edi dan seorang rekannya yang akhirnya dijatuhi sanksi berat berupa pemecatan tidak hormat. Edi merasa proses ini janggal.

“Uang pelunasan masuk ke sistem. Tambahan dana bahkan sempat masuk ke pos pendapatan dan kemudian dikembalikan ke rekening nasabah. Tidak ada laporan kerugian. Bahkan nasabah membuat surat pernyataan tidak keberatan,” jelas Edi saat dikonfirmasi, Senin (21/4/2025).

Ia mengaku tidak pernah mendapatkan surat teguran atau pembinaan sebelumnya. “Tiba-tiba hukuman yang diberikan itu demosi dan penurunan jabatan, kemudian dikeluarkan pemberhentian sementara dan  langsung pemecatan tidak dengan hormat. Ini sangat tidak adil, dan tidak melalui tahapan” tambahnya.

Pada saat tim SKAI turun audit, hanya dua orang saja yang diperiksa, sementara 10 orang lainnya yang terbukti menerima uang tidak diBAP, hanya dimintai keterangan saja.

Sementara ke 12 orang itu adalah semuanya pelaku, bukan turut serta. Karena mereka yang juga mendorong dan merencanakan terkait penambahan dana dari nasabah tersebut.

Kemudian keputusan pemecatan yang cuma dua orang ini, berbeda dengan pernyataan Direksi bahwa Fraud yang Rp1 sama hal nya dengan Rp1 miliar. Jika mengacu pada pernyataan itu, maka 10 orang lainnya harus menerima sanksi yang sama.

Klarifikasi BPR: Tegakkan Disiplin dan Komitmen Anti Fraud

Menanggapi sorotan publik, Kuasa Hukum BPR NTB, Herman, menegaskan bahwa proses pemecatan telah melalui pemeriksaan internal yang menyeluruh oleh Tim SKAI (Satuan Kerja Audit Internal).

Menurutnya, tindakan tersebut tidak dilakukan secara tiba-tiba, melainkan berdasarkan bukti dan ketentuan internal yang berlaku.

“Pemeriksaan dilakukan setelah adanya laporan pelanggaran terhadap aturan perusahaan. Tim memanggil sejumlah pegawai yang terlibat dan mengumpulkan bukti—baik berupa dokumen, berita acara, maupun surat pernyataan,” ujar Herman.

Dalam proses itu, ditemukan pelanggaran berat oleh dua orang staf. “Pelanggaran itu terkait penyalahgunaan wewenang dan penerimaan dana di luar mekanisme resmi perusahaan. Ini bertentangan dengan komitmen BPR NTB dalam menerapkan aturan OJK tentang perlindungan konsumen dan prinsip anti-fraud,” tambahnya.

BACA JUGA : Diduga Balas Dendam Politik, Puluhan ASN Dimutasi Jauh : FPT Akan Demo Kantor Bupati Sumbawa Barat

Herman menegaskan bahwa sanksi berbeda dijatuhkan karena tingkat pelanggaran masing-masing individu berbeda. “Ada yang dikenakan penurunan pangkat, penundaan promosi, dan ada yang diberhentikan. Ini berdasarkan audit objektif, bukan karena diskriminasi,” tegasnya.

SKAI: Pelanggaran Tidak Sama, Proses Telah Sesuai SOP

Ketua Tim SKAI, Lalu Adi Fansuri, menjelaskan bahwa pemeriksaan melibatkan 12 orang, namun hasil audit menunjukkan tingkat keterlibatan yang berbeda.

“Tidak semua pelaku memiliki porsi yang sama. Ada pelaku utama dan ada yang hanya ikut serta. Menyamakan sanksi untuk semua pihak justru tidak adil. Karena itu kami merekomendasikan sanksi sesuai proporsi pelanggaran,” jelas Lalu.

 




Ia juga menyebutkan bahwa pihaknya telah melakukan skorsing terhadap dua pegawai tersebut selama dua bulan sebelum surat pemecatan diterbitkan, guna memastikan tidak ada bukti yang dihilangkan dan dilakukan monitoring selama proses berlangsung.

Surat Pernyataan Nasabah: Bukti Diabaikan?

Namun, pihak terlapor menilai proses audit dan pemecatan tetap menyisakan kejanggalan. Salah satunya adalah hilangnya pertimbangan terhadap surat pernyataan nasabah yang menyatakan tidak keberatan dan tidak merasa dirugikan.

Menurut Edi, surat tersebut dibuat sehari setelah pelunasan kredit, namun saat Tim SKAI turun melakukan audit, dokumen itu disebut tidak ditemukan.

“Surat itu ada, tapi tidak dijadikan bahan pertimbangan. Nasabah sendiri sudah dihubungi dan mengakui tidak ada tekanan atau pemaksaan. Kenapa ini tidak diakomodasi?” tegasnya.

Aktivis Desak Evaluasi Manajemen

Ketua Umum Lembaga Gerakan Transparansi dan Advokasi NTB, Suryansyah, menilai pemecatan ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural.

“Jika benar ada pelanggaran kolektif, maka seluruh pihak yang terlibat harus diberi sanksi. Tidak cukup hanya dua orang. Ini soal etika dan akuntabilitas manajemen,” ungkapnya.

Ia mendesak Gubernur NTB untuk segera mengevaluasi Direksi BPR NTB dan memeriksa ulang SK pemecatan tersebut. Menurutnya, ini bukan semata urusan internal perusahaan daerah, tapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan milik daerah.

BACA JUGA : Terungkap Kasus Ustadz Cabuli Puluhan Santriwati di Lombok Barat, Korban Bongkar Terinspirasi Dari Film

Wakil Gubernur NTB: Harus Diverifikasi

Wakil Gubernur NTB, Indah Dhamayanti Putri, juga angkat bicara. Ia meminta agar informasi yang beredar segera diverifikasi.

“Kalau sampai ada pemecatan, pasti ada dasar dan proses sebelumnya. Tapi tetap harus dicek, apakah prosedur dan hak pegawai telah dihormati atau tidak,” katanya saat ditemui di UIN Mataram, Minggu (20/4/2025).

Penutup: Transparansi dan Keadilan untuk Reputasi Lembaga

Kisruh di tubuh BPR NTB ini membuka ruang refleksi mendalam soal manajemen tata kelola, transparansi internal, dan keadilan dalam menjatuhkan sanksi.

Kasus ini bukan hanya menyangkut dua pegawai, melainkan citra BPR sebagai lembaga keuangan milik daerah yang seharusnya mengedepankan profesionalisme dan keadilan.

Kini publik menanti, apakah manajemen akan membuka diri untuk audit ulang yang lebih independen, atau justru mempertahankan keputusan tanpa ruang dialog.

Pewarta: Edo MH
Editor: Feryal

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *