Mataram (SIAR POST) – Gugatan praperadilan yang diajukan oleh Sudirman, mantan Kepala Desa Sekongkang Bawah, Kabupaten Sumbawa Barat, terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumbawa Barat mengungkap sejumlah kejanggalan hukum.
Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Mataram pada Jumat, 20 Juni 2025, menghadirkan ahli pidana dari Universitas Mataram yang secara tegas menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus ini, karena belum ada audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kuasa hukum Sudirman, Muh. Erry Satriyawan, SH, MH, CPCLE, dari MES Law Office & Partners, menyebut penetapan kliennya sebagai tersangka cacat prosedur dan bertentangan dengan hukum acara pidana serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Klien kami tidak pernah menerima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dan bahkan tak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Ini bertentangan dengan prinsip due process of law dan putusan MK yang menegaskan pentingnya pemeriksaan terlebih dahulu sebelum penetapan tersangka,” tegas Erry usai persidangan.
Tak hanya soal prosedur, substansi perkara pun dipertanyakan. Erry menyebut bahwa tidak ada unsur kerugian negara, karena aset tanah yang dipermasalahkan merupakan tanah milik pribadi yang dibeli secara sah, bahkan sebagian adalah warisan dari keluarga istri Sudirman.
“Kami hadirkan saksi-saksi pemilik lama tanah yang membenarkan bahwa proses jual-beli berlangsung sah. Tanah itu bukan dari dana desa, bukan pula aset negara, dan tidak dibeli dengan uang negara,” jelasnya.
BACA JUGA : Densus 88 Grebek Kota Bima, Satu Terduga Teroris JAS Nusra Diamankan Saat Antar Anak Sekolah
Dalam sidang, ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Mataram turut menegaskan bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi, kerugian negara harus konkret dan dibuktikan melalui audit resmi dari BPK atau BPKP. Tanpa itu, tidak bisa serta merta menyebut terjadi korupsi.
“Kalau tidak ada hasil audit resmi, maka klaim kerugian negara menjadi asumsi yang tidak bisa dijadikan dasar penetapan tersangka,” ungkap Erry mengutip pernyataan ahli di pengadilan.
Kasus Tipikor dalam Bungkus “Mafia Tanah”?
Lebih jauh, Erry mempertanyakan konstruksi hukum dari Kejaksaan yang menggunakan pasal Tipikor untuk menjerat kliennya dalam kasus yang disebut sebagai “mafia tanah”.
“Kalau disebut mafia tanah, seharusnya ada unsur kelompok atau jaringan. Tapi di sini hanya Sudirman seorang yang dijadikan tersangka. Di mana unsur terorganisirnya?” sindir Erry.
BACA JUGA : Viral Video Bupati Lotim di Teluk Ekas, Gubernur NTB Luruskan Isu Komit Bangun Pariwisata Tanpa Prasangka
Ia menambahkan, mafia tanah adalah istilah populer yang tidak bisa serta merta digunakan dalam dakwaan tanpa dasar hukum yang jelas.
“Satu orang dijerat pasal korupsi atas jual beli tanah sah yang bahkan tak terbukti merugikan negara. Ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi hukum kita,” imbuhnya.
Selain cacat prosedur dan tak adanya kerugian negara, Erry juga menyoroti penyitaan 13 bidang tanah milik Sudirman dan istrinya. Ia menilai penyitaan tersebut berlebihan karena status tanah itu bersertifikat sah dan tidak pernah disengketakan.
Kepala Kantor Pertanahan Sumbawa Barat, Dick Atmawijaya, membenarkan bahwa seluruh sertifikat tanah yang dimiliki Sudirman diterbitkan melalui prosedur resmi dan tidak pernah digugat oleh pihak mana pun.
“Semua sertifikat terbit sesuai prosedur. Tidak ada satu pun gugatan. Yang ada hanya pemblokiran dari Kejaksaan dan penyitaan dari pengadilan,” jelas Dick.
BACA JUGA : Dipecat Tanpa Mekanisme Jelas, dr. Harpatul Aini Tempuh Jalur Hukum: STR dan SIP Saya Disalahgunakan!
Kasus Lama Diungkit Lagi, Tersangka Tak Pernah Diperiksa
Menariknya, Sudirman saat ini sedang menjalani hukuman dalam kasus lama yang memiliki substansi serupa. Namun, ia kembali dijadikan tersangka dalam perkara baru tanpa pernah diperiksa.
“Ini sangat janggal. Klien kami sudah dihukum, lalu dimunculkan lagi kasus dengan materi serupa, namun prosesnya sangat melanggar hak dasar karena tidak pernah ada pemeriksaan,” ucap Erry.
Sementara itu, Kepala Seksi Intelijen Kejari Sumbawa Barat, Benny Utama, saat dikonfirmasi, mengatakan bahwa pihaknya telah menerima surat gugatan praperadilan dan siap menghadiri persidangan sesuai jadwal.
“Kami masih mendalami kasus ini. Untuk kerugian negara, proses penyidikan masih berjalan, jadi belum bisa kami sampaikan angka pastinya,” ujarnya.
BACA JUGA : Tebar Semangat Kurban, RSUD NTB Sembelih 14 Hewan dan Salurkan ke 2.000 Penerima
Namun, pernyataan ini justru memperkuat argumen kuasa hukum bahwa belum ada kerugian negara yang terverifikasi, sehingga unsur korupsi pun dipertanyakan.
Sidang praperadilan ini menjadi ujian penting bagi Kejaksaan Negeri Sumbawa Barat. Jika benar tidak ada kerugian negara, tidak ada pemeriksaan tersangka, dan tidak ada unsur kelompok dalam “mafia tanah”, maka patut diduga bahwa penetapan tersangka hanya bentuk kriminalisasi atau pembunuhan karakter.
Akankah praperadilan ini membuka borok praktik penegakan hukum yang menyimpang dari prosedur? Ataukah akan menjadi pintu masuk koreksi terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum?
Redaksi___