Warga melakukan konferensi pers di Tanjung Aan, Lombok Tengah, Minggu (21/6/2025). Mereka menolak tegas rencana penataan lahan di Pantai Tanjung Aan yang akan segera dilakukan oleh ITDC. Foto Tribunlombok
LOMBOK TENGAH, SIAR POST – Penolakan keras terhadap rencana penggusuran pedagang di Pantai Tanjung Aan oleh ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) terus menguat.
Kali ini, Ketua Umum Sasaka Nusantara, Lalu Ibnu Hajar, angkat bicara dengan nada tegas dan menggugah: “Boikot ITDC jika tetap merampas ruang hidup masyarakat adat Sasak!”
Dalam pernyataan resminya, Lalu Ibnu Hajar menegaskan bahwa tindakan pengosongan lahan oleh ITDC merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
BACA JUGA : Ratusan Petani Gugat Pemda Sumbawa: Lahan 130 Hektar Dirampas untuk Batalyon TNI
Ia menekankan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat lokal yang telah turun-temurun hidup dan mencari nafkah di kawasan tersebut.
“ITDC tidak boleh memaksakan kehendaknya, apalagi melakukan tindakan represif terhadap masyarakat adat Sasak. Tanjung Aan bukan hanya objek wisata, tetapi wilayah adat dan sumber kehidupan masyarakat kami,” tegas Lalu Ibnu Hajar.
Ormas Sasaka Nusantara pun menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah dan Pemerintah Provinsi NTB untuk tidak tinggal diam.
Pemerintah diminta segera mengambil langkah nyata melindungi hak-hak rakyat, khususnya menyangkut hak atas tanah, pekerjaan, dan lingkungan hidup yang aman.
“Pemerintah harus hadir, tidak boleh abai. Kalau pembangunan untuk rakyat, maka rakyat harus diuntungkan, bukan justru dikorbankan,” ujar Lalu Ibnu Hajar lagi.
BACA JUGA : POBSI Kota Mataram Klarifikasi Isu Pungli: Turnamen Biliar Tetap Gratis, Tak Ada Paksaan 5 Persen
Sebelumnya, jeritan masyarakat lokal pun menggema dari bibir Pantai Tanjung Aan. Kartini Lumbanraja, pemilik Warung Aloha, menyampaikan curahan hatinya usai menerima surat pengosongan dari ITDC.
Ia menegaskan bahwa ratusan warung telah beroperasi di kawasan itu selama puluhan tahun, menjadi tulang punggung ekonomi ribuan warga.
“Kalau perlu kita pertahankan warung ini sampai titik darah terakhir. Ini bukan sekadar warung, ini hidup kami. Kami tidak gentar,” ucap Kartini lantang.
Dia mengungkapkan bahwa sedikitnya 180 warung ada di kawasan Tanjung Aan. Warung Aloha sendiri mempekerjakan sekitar 60 orang lokal. Ribuan lainnya hidup dari profesi sebagai guru surfing, guide wisata, hingga pekerja lepas yang menggantungkan hidup pada geliat pariwisata pantai itu.
Kartini bahkan secara emosional meminta perhatian Presiden Prabowo:
“Saya memilih Bapak dalam pemilu. Tolong jaga janji dan lindungi kami dari penggusuran. Perbaiki ITDC agar tidak semena-mena terhadap rakyat kecil.”
Namun pihak ITDC tetap bersikukuh bahwa lahan yang digarap masyarakat merupakan aset negara yang telah diserahkan kepada mereka melalui HPL (Hak Pengelolaan Lahan) dan akan digunakan untuk proyek investasi pariwisata sesuai dengan masterplan KEK Mandalika.
ITDC juga menegaskan bahwa pengosongan tersebut bukan penggusuran paksa, melainkan proses penataan kawasan untuk mendukung iklim investasi.
Meski begitu, pernyataan ITDC dianggap belum menyentuh persoalan utama: keberadaan masyarakat lokal yang tak pernah diajak bicara sejak awal.
Ketua Sasaka Nusantara menyimpulkan, pembangunan yang mengabaikan masyarakat adat dan meminggirkan rakyat kecil adalah bentuk kolonialisme baru di tanah sendiri.
“Kami tidak anti pembangunan. Tapi pembangunan yang menginjak-injak harga diri dan hak rakyat harus dilawan,” tutup Lalu Ibnu Hajar.
Tanjung Aan kini bukan hanya panggung pariwisata. Ia telah berubah menjadi medan perjuangan antara hak rakyat dan kekuasaan modal.
Redaksi___