Sumbawa, SIAR POST – Sinergi yang selama ini terbangun antara TNI dan masyarakat Desa Karekeh, Kecamatan Unter Iwes, Kabupaten Sumbawa, kini menghadapi ujian berat.
Bukan karena permusuhan, tapi karena kebutuhan akan kejelasan hak atas tanah garapan yang telah menjadi sumber penghidupan warga selama puluhan tahun.
Pembangunan markas Batalyon TNI di atas lahan seluas 130 hektar yang selama ini dikelola petani, menimbulkan persoalan agraria yang sensitif. Namun di tengah potensi konflik, masyarakat justru menunjukkan kedewasaan sikap: mereka tidak menolak kehadiran TNI, tetapi berharap adanya solusi berkeadilan agar mereka tidak kehilangan mata pencaharian.
BACA JUGA : Ratusan Petani Gugat Pemda Sumbawa: Lahan 130 Hektar Dirampas untuk Batalyon TNI
“Warga sangat menghormati TNI, mereka merasa aman dan nyaman. Tapi mereka juga ingin tetap bisa bertani dan hidup layak. Mereka hanya minta lahan pengganti yang adil dan masuk akal,” ujar Imam Wahyudin, SH, kuasa hukum petani Kareke, usai sidang lanjutan gugatan class action di Pengadilan Negeri Sumbawa, Selasa (22/7/2025).
Menurut Imam, ada solusi yang bisa ditempuh membuka lahan yang lain untuk diberikan kepada masyarakat yang telah menggarap lahan yang saat ini disengketakan selama puluhan tahun.
Ia juga mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah bisa memberikan lahan baru untuk masyarakat yang berada di dekat lahan yang bersengketa, karena lahan tersebut bukan kawasan hutan lindung, melainkan hutan produksi—dan bahkan sebagian besar merupakan kebun lama yang telah digarap warga sejak awal 2000-an.
“Karakter lahannya bukan hutan lebat. Ini kebun lama yang dulu dibuka masyarakat dan sekarang ingin dilanjutkan sebagai sumber penghidupan. Maka skema perhutanan sosial bisa jadi solusi,” tegas Imam.
Regulasi perhutanan sosial yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 membuka ruang bagi masyarakat untuk mengelola hutan produksi secara legal melalui skema seperti tumpangsari, kemitraan kehutanan, atau hutan kemasyarakatan.
BACA JUGA : Sidang Perdana Lawan Proyek Batalyon: Petani Kareke VS Pemda Sumbawa, Beberapa Pihak Tidak Hadir
“Ini tinggal didorong oleh pemerintah daerah dan Dinas LHK Provinsi ke Kementerian LHK. Negara sudah menyediakan jalur legalnya, tinggal kemauan politik kepala daerah,” tambahnya.
Imam berharap Bupati Sumbawa, H. Sarafudin Jarot, bisa mengambil peran proaktif sebagai penengah dan pemberi solusi.
Menurutnya, langkah konkret dari Bupati untuk mendorong skema perhutanan sosial atau redistribusi lahan akan menjadi bukti keberpihakan pada rakyat tanpa harus mengorbankan kepentingan negara.
“Pak Bupati bisa menjadi jembatan antara masyarakat, TNI, dan kementerian terkait. Jangan biarkan masyarakat dan TNI dibenturkan terus. Sinergi ini harus dirawat, bukan dibiarkan retak karena abainya kebijakan,” ucap Imam.
Warga Tidak Menolak TNI, Hanya Meminta Diberi Hidup yang Layak
Dukungan masyarakat terhadap TNI tetap kuat. Mereka mengakui peran TNI dalam menjaga keamanan dan ikut serta dalam kegiatan sosial dan keagamaan.
“Warga saya bilang begini: ‘Bang, kami tidak mau TNI pergi. Tapi kami juga harus tetap bisa bertani. Kami tidak bisa hidup dari uang ganti rugi saja.’ Itu suara hati petani. Mereka ingin solusi yang manusiawi,” kata Imam.
BACA JUGA : Tender SPAM Lombok Barat Diduga “Dikunci” untuk Pemenang Tertentu, KUAT NTB Siap Laporkan ULP-Pokja ke Polda
Menurutnya, perdamaian yang adil bisa dibangun tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Kesepakatan bersama bisa dituangkan dalam akta perdamaian yang berkekuatan hukum tetap.
Imam mendorong agar semua pihak – Pemda Sumbawa, TNI, DLHK Provinsi, KLHK, dan masyarakat – duduk bersama dalam semangat musyawarah untuk mufakat.