Lombok Utara, SiARPOST– Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Sementara Kesejahteraan (BLTS Kesra) kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Bukan hanya karena banyak warga kurang mampu tidak tercover bantuan, tetapi juga karena Pemda KLU ternyata tidak memiliki kendali penuh terhadap siapa yang berhak menerima.
Di balik keluhan masyarakat yang kian deras, Pemda mengakui bahwa akurasi data penerima masih menjadi persoalan utama. Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) KLU, Faturrahman, menyebut pihaknya hanya mendapatkan daftar nama dari pusat untuk kemudian dilakukan verifikasi.
“Pemerintah daerah hanya memverifikasi. Penentuan penerima dan pengganti sepenuhnya kewenangan pusat melalui Pusdatin Kemensos,” tegasnya.
Menurut Faturrahman, meski ditemukan warga yang tidak layak menerima bantuan, daerah tidak bisa sembarangan mengganti nama. “Ketika ada nama yang dicoret, penggantinya otomatis dipilih pusat. Kami tidak bisa memasukkan nama baru secara manual,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa proses usulan dari desa tidak langsung menjamin penerimaan. Semua usulan harus melalui proses pemeringkatan desil 1–5, lalu diproses kembali oleh sistem pusat dengan kuota bantuan yang terbatas.
Di KLU sendiri, jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BLTS Kesra mencapai lebih dari 60 ribu, termasuk penerima PKH, BPNT, maupun non-bansos. Dari jumlah itu, 26 ribu KPM adalah kategori non-bansos.
Di tengah keterbatasan kuota dan ketatnya sistem pusat, banyak warga justru merasa terabaikan—termasuk mereka yang hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Salah satunya Inak Riwanti, warga Desa Selelos, Kecamatan Gangga. Sejak suaminya meninggal, ia kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun, hingga kini, ia tak pernah menerima satu pun bantuan, baik bansos reguler maupun BLTS Kesra.
“Saya paling susah dibanding tetangga. Tapi malah banyak yang lebih mampu yang dapat. Saya berharap pemerintah turun tangan melihat kondisi kami,” keluhnya.
Kisah seperti Inak Riwanti menjadi gambaran betapa besarnya jurang antara kondisi lapangan dan data nasional yang menjadi dasar penentuan penerima bantuan.
Dengan polemik yang terus muncul, Pemda berharap masyarakat memahami alur yang berlaku. Faturrahman meminta warga yang merasa berhak agar melapor ke desa untuk pendataan ulang.
“Semua proses berbasis data nasional. Daerah tidak bisa serta-merta menambah nama tanpa keputusan pusat,” ujarnya.
Namun, bagi banyak warga, penjelasan prosedural itu belum cukup menjawab kebutuhan mendesak mereka terutama bagi yang benar-benar hidup dalam kesulitan tetapi tercecer dari daftar bantuan.(Niss)
BLTS Kesra Jadi Polemik: Pemda KLU Terjepit Aturan Pusat, Warga Miskin Justru Tersisih














