‎Masyarakat Rempek Darussalam Protes Status Hutan Mendadak, DPRD KLU Gerak Cepat Amankan Hak Tanah Warga



‎Lombok Utara, SIARPOST – Ketegangan antara warga Desa Rempek Darussalam dan otoritas kehutanan kembali mencuat setelah puluhan warga mendatangi DPRD Lombok Utara, Selasa (2/12), untuk meminta kejelasan atas pemasangan pal dan plang penanda kawasan hutan produksi tetap (HPT) di atas tanah milik mereka yang telah bersertifikat.

‎Hearing yang digelar Komisi I DPRD KLU itu menghadirkan cerita mengejutkan dari warga. Tanah yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) sejak tahun 1984 justru tiba-tiba ditandai sebagai kawasan hutan tanpa pemberitahuan apa pun.

‎Wakil Ketua DPRD KLU, Hakamah, yang memimpin rapat, menegaskan bahwa langkah cepat harus diambil untuk menghindari ketidakpastian hukum yang lebih besar. Ia memastikan bahwa pada Rabu (3/12), DPRD berangkat langsung ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) VIII Denpasar untuk meminta klarifikasi resmi.

‎“SHM itu sudah berusia 41 tahun. Kalau tiba-tiba dinyatakan masuk kawasan hutan, pasti ada sesuatu yang harus dijelaskan. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Hakamah.

‎DPRD KLU juga akan memanggil panitia tapal batas yang sebelumnya dibentuk sebelum pemasangan pal dan plang. Menurutnya, setiap kebijakan yang berpotensi mencabut hak dasar masyarakat harus dilakukan secara transparan.

‎Tidak hanya berhenti di tingkat daerah, Komisi I DPRD KLU akan membawa kasus ini ke Komisi IV DPR RI. Bahkan, jalur intervensi hingga Kementerian Kehutanan dan Mensesneg menjadi opsi untuk memastikan suara warga didengar hingga ke Presiden Prabowo Subianto.

‎“Kami pastikan hak masyarakat harus dipertahankan. Warga jangan panik, jangan berhenti bekerja. Sertifikat ada di tangan, itu yang akan kami kawal,” tegas politisi Partai Demokrat tersebut.

‎Di sisi warga, Ranadi menjadi salah satu representasi keresahan masyarakat. Ia mengaku bingung sekaligus heran atas pemasangan tanda HPT itu, mengingat tanah tersebut sudah ditempati dan dikelola warga selama puluhan tahun.

‎“Kami bongkar pal itu dan bawa ke kantor desa. Kami tanya maksudnya apa, karena selama ini tidak pernah ada pemberitahuan,” ujarnya.

‎Menurut catatan warga, terdapat 86 persil lahan dengan luas sekitar 100 hektare yang terdampak, dihuni kurang lebih 1.000 jiwa. Mereka khawatir situasi ini akan mengganggu keamanan tempat tinggal dan masa depan keluarga mereka.

‎Ranadi menegaskan, warga tidak menolak aturan, namun pemerintah harus menghadirkan kepastian dan keadilan.
‎“Ini menyangkut hidup banyak keluarga. Kami berharap pemerintah hadir berpihak kepada masyarakat,” katanya.(Niss)

Exit mobile version