Dari Lorong Keras Jakarta ke Senayan, dan Jalan Panjang Sahril Amin Dea Naga Untuk Provinsi Pulau Sumbawa

“Kami ingin masyarakat paham, perjuangan ini bukan hanya di jalan. Ini juga di ruang kebijakan,” ujarnya.

Singa yang Terus Meraung

Banyak yang berkata PPS sulit terwujud. Sahril dan Aliansi PPS memilih menjawab dengan cara berbeda: sedikit bicara, banyak bekerja. Di internal gerakan, ia dikenal keras dan disiplin. Ia kerap diibaratkan seperti singa lapar—siap meraung dan menerkam tantangan apa pun yang menghadang tujuan.

Namun di balik ketegasan itu, ada empati yang dalam. Tangisan warga miskin, rintihan duafa, kegelisahan anak muda, hingga jeritan alam Sumbawa yang kerap dieksploitasi tanpa keadilan, menjadi bahan bakar utama perjuangan.

“Semua ini ikhtiar. Ikhtiar untuk kesejahteraan rakyat,” kata Sahril.

PPS Harga Mati

Pagi itu, di atas bus kota menuju Senayan, Sahril duduk di sela-sela para pejuang. Mata nya merah, tanda bahwa ia tak pernah lelap dalam tidur. Garis tipis di kening nya menandakan perjuangan yang ia lalui.

Baginya Jakarta dengan segala gemerlapnya seolah tak lagi menarik. Di kepalanya hanya satu kata yang terus bergaung, diteriakkan, dan dibawa ke mana pun: PPS harga mati dan harus jadi.

Perjalanan masih panjang. Tantangan belum selesai. Namun satu hal tak pernah berubah sejak ia meninggalkan Pulau Sumbawa puluhan tahun lalu: keyakinan bahwa keadilan tak datang dengan menunggu.

Ia harus diperjuangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *