Dari Lorong Keras Jakarta ke Senayan, dan Jalan Panjang Sahril Amin Dea Naga Untuk Provinsi Pulau Sumbawa

JAKARTA, SIAR POST — Peluh itu menetes perlahan di dahi Muhammad Sahril Amin Dea Naga, Kamis (18/12/2025). Di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, ia berdiri bersama segelintir orang, jumlah yang tak sebanding dengan berat aspirasi yang dipikulnya.

Di tangannya hanya sebatang rokok, puntung kecil yang seolah menjadi jeda sesaat untuk melepaskan beban panjang perjuangan. Namun di matanya, api harapan tak pernah padam.

Sahril bukan aktivis yang lahir dari ruang nyaman. Ia adalah anak Pulau Sumbawa yang ditempa kerasnya kehidupan kota metropolitan Jakarta sejak tahun 1988. Kota yang membesarkannya bukan dengan janji manis, melainkan dengan realitas pahit: hidup yang menuntut daya tahan, kecerdikan, dan keberanian. Dari lorong-lorong keras ibu kota itulah karakter Sahril dibentuk—keras pada diri sendiri, tegas pada tujuan.

Puluhan tahun kemudian, Jakarta kembali menjadi panggungnya. Bukan untuk mencari penghidupan, tetapi untuk menagih keadilan. Ia datang membawa satu tuntutan yang tak pernah berubah: pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS).

Beban 1,6 Juta Jiwa di Atas Pundak

Dengan pakaian kasual berwarna krem dan topi putih yang nyaris selalu menemani, Sahril tampak sederhana. Tak banyak yang tahu, di balik kesederhanaan itu ia memikul beban aspirasi sekitar 1,6 juta masyarakat Pulau Sumbawa.

Beban tentang ketimpangan pembangunan, keterbatasan akses, kemiskinan struktural, hingga jeritan anak-anak muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan layak di tanah sendiri.

“PPS bukan soal ambisi elite. Ini soal keadilan,” begitu kalimat yang kerap ia ulang.

Tak banyak masyarakat Pulau Sumbawa yang bisa datang langsung ke Jakarta. Biaya menjadi tembok tinggi yang tak mudah dilompati.

Namun perjuangan tidak pernah benar-benar sepi. Dewan Pakar PPS, para ketua aliansi di lima kabupaten/kota, serta anggota militan yang siap mengorbankan tenaga, waktu, bahkan materi, terus berdiri di belakangnya.

Aliansi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) yang dipimpinnya bukan gerakan spontan. Ia adalah organisasi resmi, terstruktur, dan diisi orang-orang yang percaya bahwa perubahan hanya lahir dari konsistensi.

Jalan Panjang yang Melelahkan, Tapi Terukur

Perjuangan PPS adalah maraton panjang, bukan lari jarak pendek. Sepanjang tahun 2025, Aliansi PPS menggulirkan rangkaian aksi terbuka untuk mengetuk kesadaran negara.

Dimulai dari Aksi Demo Tano pada 15 Mei 2025, disusul 26 Mei 2025, hingga aksi besar pada 2–3 Juli 2025, suara rakyat Pulau Sumbawa terus digaungkan. Jalanan menjadi ruang ekspresi, tetapi perjuangan tak berhenti di sana.

Aliansi PPS kemudian melakukan road show ke lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa dalam dua gelombang besar. Konsolidasi dilakukan dari tingkat elite lokal hingga akar rumput, menyatukan tokoh masyarakat, pemuda, aktivis, dan simpul-simpul perjuangan.

Puncaknya terjadi pada Rapat Akbar Nasional PPS, 10 November 2025. Dari forum inilah lahir dua keputusan strategis: pembentukan struktur organisasi lengkap Aliansi PPS hingga tingkat kecamatan dan desa, serta dimulainya fase Batavia Challenge—perjuangan langsung di pusat kekuasaan negara.

Batavia Challenge dan Fase Krusial 2026

Dalam fase Batavia Challenge, Sahril dan jajaran Aliansi PPS berkali-kali masuk ke ruang-ruang birokrasi. Hearing dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghasilkan sinyal penting: Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Desain Penataan Daerah (Destarada) untuk pembentukan PPS dipastikan akan dirampungkan pada Januari–Maret 2026.

Bagi Aliansi PPS, ini bukan janji kosong. Ini adalah pijakan formal kenegaraan yang selama ini diperjuangkan.

Namun Sahril paham, satu jalur tak cukup. Maka perjuangan pun dikunci di dua arah: eksekutif dan legislatif.

Aksi di depan Gedung DPR RI, Kamis (18/12/2025), menjadi simbol fase krusial itu. Di sanalah Sahril menegaskan tuntutan utama: kepastian hak inisiatif DPR RI yang telah diajukan oleh tiga anggota DPR RI asal Dapil Pulau Sumbawa—Johan Rosihan, Maghdalena, dan Mori Hanafi.

“Kami datang untuk memastikan hak inisiatif ini tidak menguap. Ini bukan isu liar, ini proses konstitusional,” tegas Sahril.

Baginya, RPP di Kemendagri dan hak inisiatif DPR adalah dua rel yang harus berjalan sejajar. Jika salah satu tersendat, kereta PPS bisa berhenti di tengah jalan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *