banner 728x250

Bule Ini Pilih Budaya Lombok daripada Resort Mewah: Serukan Petisi dan Tolak Hotel di Tanjung Aan!

banner 120x600
banner 468x60

Lombok Tengah, SIAR POST –
Sebuah video yang diunggah akun Instagram @teras_lotara pada 19 Juni 2025 mendadak viral dan memantik diskusi hangat.

banner 325x300

Seorang bule atau turis asing, yang tidak disebutkan namanya, menyampaikan kritik pedas terhadap rencana pembangunan hotel bintang lima dan beach club di kawasan Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah.

Dalam video berdurasi singkat itu, sang bule menyatakan kekecewaannya terhadap arah pembangunan pariwisata di Lombok yang menurutnya mulai melenceng dari esensi alam dan budaya lokal.

BACA JUGA : Petani Menjerit, Pemerintah Didesak Intervensi Kebijakan Harga Gabah

“Kami datang ke Lombok bukan untuk resort mewah atau klub pantai. Kami datang untuk budaya, masyarakat lokal, dan keindahan alam aslinya. Pantai Tanjung Aan adalah salah satu tempat longboarder paling sempurna di dunia,” ujar sang bule dengan nada prihatin.

Ia bahkan mengajak publik untuk ikut menandatangani petisi penolakan pembangunan resort tersebut.

“Kalau kamu cinta Lombok, kamu harus peduli. Kirim saya DM, saya akan kirimkan tautan petisinya. Kita harus lakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat,” ujarnya.

Pernyataan ini menguatkan suara-suara lokal yang sejak awal menolak pembangunan permanen di sempadan pantai Tanjung Aan, salah satunya datang dari Sasaka Nusantara NTB, organisasi budaya yang selama ini lantang membela hak masyarakat adat Sasak.

Ketua Sasaka Nusantara NTB, Lalu Ibnu Hajar, menyebut pembangunan hotel dan beach club oleh ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) telah mengancam ruang hidup masyarakat dan warisan budaya Sasak.

Ia menegaskan bahwa kawasan Tanjung Aan bukan sekadar hamparan pasir putih, tetapi bagian penting dari identitas masyarakat lokal.

BACA JUGA : Soal Hutang Pemprov NTB, Kontraktor Bantah dan Klarifikasi Tidak Ada Rencana Aksi

“Kami mendukung pariwisata asal tidak mengorbankan masyarakat. Jangan gusur pedagang, jangan abaikan budaya dan lingkungan. Hentikan pembangunan di sempadan pantai!” tegas Ibnu Hajar.

Ia merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2014 serta Perpres Nomor 51 Tahun 2016 yang secara tegas mengatur perlindungan sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi.

Sayangnya, hingga kini belum ada Perda RTRW yang tegas mengatur batas tersebut di Lombok Tengah, membuka celah bagi pembangunan besar yang melanggar aturan.

Tradisi lokal seperti Bau Nyale dan Madak Mare, yang rutin digelar di kawasan itu, kini terancam kehilangan ruangnya.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *