CMMI Bima Tanggapi Isu Erwin “Anti Kritik”: Kritik Diperbolehkan, Tapi Jangan Disertai Fitnah dan Penghinaan

Bima, SIARPOST — Ketua Umum DPD Cendekia Muda Muslim Indonesia (CMMI) Bima Raya, Adi Markus, menegaskan bahwa tuduhan terhadap Muhammad Erwin, Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Bima, yang disebut “anti kritik”, adalah tidak benar dan menyesatkan.

Menurutnya, Erwin justru membuka ruang seluas-luasnya bagi kritik konstruktif yang berlandaskan etika dan hukum, bukan hujatan dan fitnah.

“Erwin tidak menolak kritik, tapi menolak bentuk kritik yang sudah melewati batas hukum dan etika — seperti fitnah, penghinaan, atau cemoohan yang merendahkan martabat manusia,” ujar Adi Markus dalam keterangan tertulisnya kepada media, Senin (13/10/2025).

Pernyataan ini disampaikan Adi menyusul ramai isu di media sosial dan pemberitaan lokal yang menyebut Erwin sebagai sosok yang menolak kritik publik. Menurut Adi, klaim tersebut merupakan bentuk simplifikasi berlebihan yang tidak memahami konteks demokrasi yang sehat.

“Kebebasan berpendapat itu dijamin konstitusi, tapi bukan kebebasan tanpa batas. Kalau kritik sudah berubah menjadi fitnah atau penghinaan, apalagi sampai menyamakan manusia dengan hewan, itu bukan lagi kritik, tapi pelanggaran hukum dan moral,” tegasnya.

Lebih jauh, Adi Markus menilai bahwa Erwin selama ini sangat terbuka terhadap masukan dan saran publik, khususnya dalam menjalankan tugas-tugas legislatifnya. Namun, ia juga menekankan bahwa kritik harus disertai fakta dan pemahaman yang benar terhadap sistem hukum dan kewenangan dalam pemerintahan.

“Secara hukum maupun administratif, kewenangan atribusi telah diberikan oleh DPRD kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugasnya, termasuk soal urusan P3K Paruh Waktu. Sementara kewenangan delegasi dan mandataris adalah ranah pemerintah daerah, karena mereka memiliki fungsi di wilayah itu,” jelasnya.

Adi juga menilai bahwa sebagian pihak yang melontarkan tudingan kepada Erwin kurang memahami prinsip kewenangan publik. Ia menyarankan agar mereka memperdalam literasi hukum sebelum mengeluarkan opini yang bisa menyesatkan masyarakat.

“Saya sarankan kepada mereka agar belajar dan membaca kembali tentang jenis-jenis kewenangan. Jangan sampai terlihat kosong dalam berbicara hanya karena mengandalkan narasi hoaks, fitnah, dan kritik tanpa dasar. Padahal, mereka sendiri tidak memahami apa itu abuse of power secara komprehensif,” pungkasnya.

Adi berharap ke depan publik dan para aktivis bisa membangun tradisi kritik yang konstruktif dan berbasis data, bukan sekadar serangan personal. “Demokrasi bukan kebebasan tanpa batas, tapi kebebasan dalam koridor konstitusi. Mari jadikan kritik sebagai kontrol sosial, bukan alat untuk menjatuhkan martabat orang lain,” tutupnya.

Redaksi | SIARPOST

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *