Bima, SIAR POST | Sorotan tajam mengarah pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Dapil Pulau Sumbawa/NTB I, Mahdalena, setelah muncul dugaan bahwa dirinya mempidanakan rakyat dan mantan tim pemenangannya.
Akademisi menilai tindakan tersebut bukan hanya mencederai etika politik, tetapi juga dapat merusak marwah DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Mahdalena, yang meraih 173.144 suara pribadi dan 194.944 suara partai, selama ini dikenal tampil sebagai figur perempuan religius dan sosial. Namun di balik citra tersebut, sejumlah pihak menyebut terdapat praktik yang melukai rasa keadilan publik.
Akademisi Universitas Teknologi Surabaya di Sumbawa, Muhaimin (Deven), menegaskan bahwa kemenangan seorang legislator adalah hasil kerja kolektif, bukan semata kekuatan individu atau keluarga.
“Ada banyak orang yang mengangkat namanya hingga ke Senayan. Ironisnya, salah satu dari mereka kini justru sedang ia pidanakan dengan Undang-undang ITE. Demokrasi kita rapuh ketika kemenangan menjadi alat menundukkan siapa pun yang dianggap tidak lagi berguna,” ujar Deven, Selasa (9/12/25).
Tim Sukses Bukan Mesin Sekali Pakai
Deven menyebut tim pemenangan adalah pihak yang berkorban paling besar tenaga, waktu, hingga reputasi sosial. Pemidanaan terhadap mereka, menurutnya, menunjukkan rapuhnya kepemimpinan.
“Jika legislator mempidanakan Orang-orang yang dulu mengangkat namanya, ini bukan hanya soal konflik pribadi, tetapi soal kualitas kepemimpinan yang dangkal dan hilangnya loyalitas,” urainya dia.
Citra Religius Dipertanyakan
Anggota Dewan yang dikenal dengan ciri jilbab hijau disebut menghadirkan simbol keteduhan. Namun Deven menilai citra itu tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan.
“Senyumnya tampak lembut, tutur kata penuh doa. Namun langkahnya meninggalkan bekas dingin. Jilbab hijau itu bukan lagi lambang kesejukan, tapi penutup dari bara dendam yang tidak pernah padam,” katanya.
Ia menambahkan, bahwa simbol kesalehan menjadi tirai yang menutupi luka dan dendam yang disimpan sebagai amunisi politik.
Dituding Politisasi Kinerja dan Bantuan Negara
Mahdalena juga mendapat sorotan terkait klaim keberhasilannya dalam Penurunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 2025 (BPIH),. Penambahan kuota haji NTB dari 4.499 menjadi 5.798 jemaah pada 2026. Padahal menurut Deven, kebijakan tersebut merupakan program nasional Kementerian Agama, bukan kerja individu anggota DPR RI.
“Fakta ini dipolitisasi untuk eksistensi pribadi, seolah seluruh capaian itu hasil perjuangan tunggal. Padahal itu kebijakan pemerintah pusat,” uria Deven
Dugaan Monopoli Bantuan Negara saat Banjir Bima
Saat banjir besar melanda Wera dan Ambalawi pada 2025, Mahdalena menyalurkan 1.500 paket Ramadan untuk korban. Namun paket itu disebut berasal dari anggaran negara, bukan dana pribadi. Deven menuding bantuan itu dimonopoli dengan membelanjakannya di toko milik pribadi sehingga menggerakkan kepentingan ekonomi keluarga.
Ia menegaskan bahwa bantuan langsung dari anggota DPR RI rawan digunakan sebagai politik bantuan, yang membuat warga merasa terikat secara elektoral.














