Turun Gunung, dr H. Sanusi H. Ibrahim SpOG Siap Tampil Sebagai Calon Bupati Bima

 

Mataram, SIARPOST  | Tokoh Bima terkemuka di Jakarta dr Sanusi Ibrahim Spog akhirnya turun gunung, dengan tampil sebagai bakal calon Bupati Bima mendatang, periode 2025-2030.

Tampilnya tokoh sekaliber dr Sanusi dengan sendirinya ikut mendinamisasi jagad pemilukada Bima mendatang. Sementara ini telah mengemuka beberapa nama seperti Muhammad Putra Feryandy, S.IP., ketua DPRD Kabupaten Bima dan Efendi Kusnandar, pengusaha muda.

Keputusan Abu, demikian nama sapaan akrab dr Sanusi, untuk “pulang kampung” menjadi calon bupati didorong oleh niat untuk ikut membangun daerah kelahirannya.

Abu yakin dengan bekal ilmu, pengalaman dan jaringan yang dimilikinya selama ini di Jakarta bisa menjadi modalnya untuk membangun Bima menjadi lebih baik.

Baca juga : Ekstrakulikuler, Anak-anak TK Ceria Gunung Sari Diajak Mengenal dan Melestarikan Alam

Menanggapi tampilnya dr Sanusi, tokoh Bima di Mataram Dr Asyad Gani, M.Pd., menilai dr Sanusi sebagai salah satu sosok yang pas dan mumpuni menjadi bupati ke depan. “Dia sukses, jabatan dan pengalamannya panjang serta bervariasi, memahami potensi Bima seperti tercermin dari usahanya membudidayakan sapi selama puluhan  tahun ini.

Dokter Sanusi, demikian CEO Rumah Sakit Anggrek Mas Jakarta Barat ini biasa pula disapa dr Sanusi, dikenal luas sebagai ketua umum Ketua Dewan Pengurus Pusat Badan Musyawarah Masyarakat Bima (BMMB) se-Jabodetabek selama dua periode. Sosok dr Sanusi pun merupakan salah satu perintis sekaligus ketua Komite Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP3S). Tokoh kelahiran Tawali, Wera pada 5 Juli 1949 ini juga dikenal sebagai pencetus lahirnya Ikatan Keluarga Wera (IKRA) se-Nusantara.

Kendati tinggal lama di Jakarta, dokter spesialis kandungan jebolan Fakultas Kedoketran Universitas Sumatra Utara ini sama sekali tidak terputus dengan daerah asalnya Bima. Sejak dulu dikenal sebagai peternak sapi sukses.

Kini dr Sanusi mengelola mini ranch di bawah naungan PT Sondi Bima Sangiang. Mini ranch adalah kandang pengembalaan mini yakni sebuah model pengelolaan budidaya sapi pedaging yang dilakukan di lahan pengembalaan yang telah ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya melalui perlakuan ilmiah. Pola ini mereduksi biaya produksi sehingga produknya memiliki keunggulan kompetitif.

Berbeda dengan ranch yang luasnya ribuan hektar (ha), mini ranch luasannya sekitar 100-an ha.

Di Wera, dr Sanusi memiliki 3 unit mini ranch yakni di Tawali mnampung 1000 ekor sapi. Unit dua di Pai dan Unit 3 di Ade Awo.

Baca juga : Buntut Sikap Kades Dopang Lobar, Pengurus Apmikimmdo Protes Seruduk Camat Gunung Sari

Tidak cuma itu, sebagai bentuk kepedualiannya pada pedagang sapi Bima di Jabodetabek, dr Sanusi menyiapkan lahan/kandang penampungan sapi gratis sebelum djual dengan daya tampung hingga 400 kor sapi.

Lebih dari itu dr Sanusi sukses memantapkan brand (merek) sapi Bima sebagai sebuah identitas produk khas Bima. Sebelumnya sapi Bima hanya dikenal sebagai sapi Kupang.

Berangkat dari kenyataan itu dr Sanusi menjadi risau. Dia pun sukses  mengubahnya brand sapi Kupang menjadi sapi Bima. “Ya, karena memang sapinya dari Bima, bukan dari Kupang,” papar dr Sanusi.

Salaah satu obsesinya kini adalah membangun Kampung Sapi  di Bima. Sebagai  sebuah kampung, layaknya kampung manusia. Di dalam hidup bersama komunitas sosial sapi secara turun temurun meliputi kakek, nenek, ibu-bapak, anak-cucu sapi. Mereka hidup; makan, minum, tidur, berteduh, dan beraktivitas. “Bedanya mereka tidak bisa ngomong saja,” kata dr Sanusi.

Karena itu di dalam kampung tersebut ada air untuk minum, tempat berteduh seperti pohon dan tentunya ada rumput.

Lokasi kampung sapi bisa di sebuah kawasan pegunungan, takjauh dari kampung manusia. Kawasan tersebut dipagar keliling supaya aman dari ganguan pencuri.

Pemilik sapi bisa siapa saja, warga kampung sekitarnya. Yang pasti warga punya tempat bersama untuk sapi.

Di situ  sapi beranak pinak sendiri sehingga biaya pemeliharaan menjadi nol rupiah.

Hebatnya menurut dr Sanusi, pada tahun ketiga sapi penghuni Kampung Sapi sudah bisa dijual pemiliknya.  Misalnya dipelihara sapi berusia satu tahun, tahun ketiga sudah bisa berpenghasilan. utamanya yang jantan dijual. Ada pun yang beertina sudah punya anak.

Sebagai gambaran, papar dr Sanusi, petani-peternak punya 50 induk dan 5 pejantan rata-rata berumur setahun. Maka tahun ketiga sudah 100 ekor. Tahun ke-4 sebanyak 150 ekor; tahun kelima 200 ekor pluas anak pertamanya di tahun ketiga sebelumnya sudah hamil dan melahirkan masing-masing satu ekor anak.

Dokter Sanusi yakin dngan model ini pertumbuhan sapi sangat luar biasa. Biayanya juga cukup murah.

Dengan sendirinya, kata dr Sanusi sapi-sapi di Kampung Sapi menjadi milik turun temurun warga kampung. Mereka menjaga bersama sehingga keamanannya terjamin.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Oi, gak boleh Copas, minta izin dulu